Jakarta, Liputan-6.com
Ketum PWI yang telah diberhentikan, Hendry Ch Bangun, mencatat sejarah di PWI. Dia menjadi mantan pengurus yang membuat PWI terusir dari kantornya di Gedung Dewan Pers di Kebon Sirih – Jakarta Pusat, pekan lalu. Entah dimana PWI Pusat berkantor kini.
Pihak Keamanan Dewan Pers mengambil tindakan tegas pada Rabu (2/10) lalu, dengan menggembok pintu kantor PWI Pusat di lantai 4 dari bangunan di jalan Kebon Sirih 34 itu – gedung yang dibangun oleh Sudwikatmono (alm), konglomerat Orde Baru. Bangunan gedung Dewan Pers adalah konsesi dari kalangan Asosiasi Importir Film Non Mandarin.selasa/8/10/2024
Saya paham cerita gedung itu, juga proses renovasinya sehingga menjadi bangunan megah pada zamannya. Sebab saya wartawan peliput film era 1980-90an, yang pernah mewawancarai Sudwikatmono sendiri semasa baru membangun Cineplex 21.
Sehingga, jelaslah; Gedung Dewan Pers bukan milik PWI, melainkan milik Yayasan Dewan Pers. Pihak pengelola Dewan Pers memberikan fasilitas gratis tanpa iuran lintrik air dan lainnya kepada PWI dan organisasi pers lain.
Terkait konflik internal beberapa bulan terakhir, pihak Dewan Pers menunjukkan sikap independen, sehingga tidak menerima keduanya dan mendorong untuk bersatu.
Langkah pengusiran itu diambil setelah Hendry Ch Bangun dan pendukungnya terus menolak keputusan Dewan Pers No.1103/DP/K/IX/2024, tanggal 29 September 2024, yang melarang mereka berkantor di lokasi tersebut mulai 1 Oktober 2024, hingga kisruh di tubuh PWI terselesaikan.
Sebelumnya, Hendry Ch Bangun bersama Moh Nasir dan kelompoknya bertahan di kantor PWI Pusat hingga larut malam pada Selasa (1/10), meskipun sudah ada instruksi untuk segera mengosongkan ruangan. Larangan tersebut dikeluarkan Dewan Pers sebagai langkah menjaga kondusifitas di tengah perselisihan internal PWI yang tengah berlangsung.
Dari media online saya membaca, ada dukungan terhadap putusan Dewan Pers tersebut. Di antaranya datang dari sekitar 150 wartawan yang berasal dari berbagai daerah seperti Jawa Barat, Banten, Riau, Sumatera Barat, Bangka Belitung, dan DKI Jakarta. Mereka mendatangi lantai 4 Gedung Dewan Pers selama dua hari berturut-turut untuk mendesak pengosongan kantor yang masih ditempati Hendry Ch Bangun.
Para wartawan yang hadir menghormati surat edaran Dewan Pers yang melarang kedua kubu di PWI untuk berkantor di lantai 4 guna menjaga situasi tetap kondusif dan mengecam tindakan Hendry Ch Bangun sebagai bentuk pengabaian terhadap otoritas Dewan Pers.
Desakan ini sejalan dengan keputusan Dewan Kehormatan PWI yang memberhentikan Hendry Ch Bangun dari keanggotaan PWI. Pemberhentian tersebut terkait penyalahgunaan dana Uji Kompetensi Wartawan (UKW) senilai Rp 1,7 miliar dari total Rp 6 miliar yang diberikan oleh BUMN dan pelanggaran AD-PRT PWI lainnya.
Penyalahgunaan dana Uji Kompetensi Wartawan (UKW) senilai Rp 1,7 miliar dari total Rp 6 miliar yang diberikan oleh BUMN, dikenal dana “cashback” yang kasusnya kini tengah diusut Polda Metro Jaya. Polisi telah memeriksa sejumlah saksi sebelum kasusnya naik ke tahap penyidikan.
Dampak dari pelanggaran itulah yang menjadi alasan kuat bagi Dewan Pers untuk mengambil tindakan tegas. Mengusir Henry Ch Bangun cs.
DARI grup WA (WA Group) saya membaca pembelaan diri Hendry Ch Bangun dan responnya tentang nasib yang menimpanya, dengan menuding kawan kawan seiring – sesama jurnalis senior – yang kini menjadi lawannya. Dia baru saja memberhentikan tokoh pengurus PWI Pusat, yang telah teruji sebagai tokoh pers nasional seperti Sasongko Tedjo, Ilham Bintang dan Wina Armada.
Dengan judul “Kebohongan demi Kebohongan” dan menyebut diri sebagai Ketua Umum PWI Pusat 2023-2028, opininya cenderung meracau. Panjang sekali pembukanya dan bertele tele. Mirip kotbah Jumat, lantaran membahas hubungan antara kesalehan beragama dan kesalehan sosial, tentang dunia yang akan kita tinggalkan, berbungkus kain kafan dan berbaring sendiri di liang lahat. Sebagai jurnalis, penulis dan editor jelas pemborosan kata.
( Bakri )